MENYUSURI RUTE PARIAMAN, TIKU, LUBUK BASUNG DAN MANINJAU DI AKHBIR TAHUN 2012


Setelah cukup rasanya menikmati keindahan pantai Gondoriah Pariaman, sehabis zuhur kami mulai lagi perjalanan. Setelah bertanya kepada beberapa orang kami sampai ke jalan menuju Tiku.  Mulai lah perjalanan kami menyusuri jalan yang dahulunya ketika remaja saya menyusuri jalan ini berjalan kaki  dengan arah yang berlawanan dari Maninjau, Lubuk Basung, Tiku dan Pariaman.
Saya membawa mobil dengan santai saja tidak terburu-buru. Saya inginmenikati perjalanan yang sebenarnya napak tilas petualangan  saya ketika remaja kelas 1 SMA berjalan kaki keliling Sumbar. Pekerjaan gila-gilaan yang kalau dipikir-pikir sekarang ini tidak masuk akal. Tapi itulah romantika masa remaja yang penuh khayalan dan mencari jati diri.
Kami menyusuri jalan aspal yang cukup mulus. Kiri kanan sawah membuat pemandangan nampak semakin indah. Di beberapa tempat kami berhenti untuk mengambil foto-foto pemandangan alam yang memukau.

Tak berapa lama kami sampai di Tiku. Saya mencari di mana kira-kira pantai  tempat kami berkemah puluhan tahun yang lalu. Tanjung Mutiara saya, ingat betul tempat itu. Dpantai itulah kami berkemah, bersenang-senang stelah berjalan kaki selama 2 hari dari Maninjau  dan Lubuk Basung. Waktu itu kami berempat betul-betul menikamati pantai. Maklum di daerah kami tidak ada laut, yang ada hanya sungai Kampar kebanggaan kami.

Nampaknya pantai Tiku tidak banyak perubahan. Dari Tiku kami terus mengemudi dengan santai terus ke arah Lubuk Basung.
Lubuk basung ini benar-benar sudah berubah. Sekitar 5 tahun yang lalu saya pernah juga lewat di sini. Tapi keadaannya benar-benar beda. Menjelang memasuki kota jalan sudah dua jalur. Jalan dua jalur ini cukup panjang hingga sampai pula keluar kota. Parit di Pinggir jalan atau oleh orang setempat di sebut banda tidak ada lagi. Dulu ciri khas Lubuk Basung adalah Parit  yang lebar sekitar  dua meter itu yang mengalir sepanjang jalan dan dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencuci dan  beternak ikan.

Sekarang pemandangan itu tidak nampak lagi, Lubuk Basung sudah berubah menjadi kota kabupaten dengan perkantorannya yang megah dan nampak masih  baru. Saya juga tidak berhasil menemukan Rumah Lasuang yang pernah kami numpang tidur dalam petualangan  masa remaja  setelah berjalan kaki dari Maninjau. 
Perjalanan diteruskan, xenia yang saya kemudikan meluncur dengan tenang menuju Maninjau. Menyusuri jalan aspal yang mulus, melewati persawahan, bukit-bukit yang mengapit kiri kanan jalan.
Mendekati Maninjau, desa Muko-muko yang dahulunya ditandai dengan rumah makan yang menjorok ke danau,  sekarang tidak kelihatan lagi. Yang nampak adalah water boom yang penuh dengan pengunjung.


Danau Maninjau sudah di depan mata. Diantarai oleh bentangan sawah yang luas, danau maninjau nampak dengan warna yang agak  kebiruan. Di pinggir danau kelihatan kerambah-kerambah  milik penduduk yang memelihara ikan.


Mendekati pusat kota Maninjau, jalan aspal yang dilalui diapit oleh rumah-rumah penduduk kiri dan kanan. Jarak rumah dan jalan sangat dekat sekali. Sehingga kalau kenderaan roda empat berhenti, maka akan terjadi kemacetan, karena menghalangi mobil yang banyak lalu lalang di jalan. Dengan demikian kami memutuskan tidak dapat melihat-lihat penganan yang dijual dipinggir jalan. Padahal saya ingin melihat penganan khas Maninjau.
Akhirnya kami sampai di persimpangan, ke kiri kelok ampek puluah ampek, terus ke Sungai Batang kampungnya Buya Hamka, belok kanan ke tempat peristirahan Maninjau Indah. Kami belok kanan ke Maninjau Indah

Waktu saya kuliah di IKIP Padang dulu, saya pernah berlibur di Maninjau Indah ini. Saya masih terkesan  di sebuah kantin saya duduk-duduk menikmati secangkir kopi sambil ngantuk-ngantuk mendengarkan lagu Edy Fergrina dari kaset. Lagu yang membuat saya terlena, Memory of our dreams, Since You’ve been gone, what am I living for, dll.
Saya ingin duduk-duduk lagi di Kantin yang sama menikmati lagi setidaknya secangkir kopi pula. Sayang, rupanya Maninjau Indah tidak ada lagi, atau mungkin tidak buka hari itu, sedangkan plang namanya. Sayang, tidak bisa mengulangi nostalgia lama. 

BUKIT TINGGI SEBAGAI KOTA WISATA


Bagi penduduk provinsi Riau, Jambi, dan  provinsi Sumatra utara atau bahkan penduduk sumatra barat sendiri,  Bukit tinggi  merupakan pilihan yang favorite untuk berwisata. Kota yang identik dengan jam gadangnya ini memang cocok untuk tujuan wisata karena pemandangan alamnya yang indah. Ini sesuai dengan kondisi geaografisnya  yang terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Dengan  ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, kota ini memiliki hawa cukup sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Disamping itu, Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan dan sebagainya. Sementara terdapat lembah yang dikenal juga dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang didasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
 Tidak bisa di pungkiri, setiap tahun, pada saat libur sekolah, dan hari-hari libur lain, kota ini diserbu oleh  ribuan turis lokal dan manca negara yang  ingin menikmati keindahan alam Sumatra barat yang  terkenal juga dengan adat istiadatnya yang terjaga.
Kalau berbicara kota Bukit tinggi, tentu tidak akan lengkap jika tidak  mengunjungi jam gadang yang merupakan titik sentral kota.  Nah disinilah persoalannya. Jam gadang yang begitu ramai dikunjungi karena merupakan landsmark kota, namun para pendatang yang menggunakan  kenderaan pribadi sering kecewa, karena tempat parkirnya yang sangat terbatas.  

Pernah, serombongan pengunjung dari Riau yang menggunakan bus akhirnya tidak jadi  dapat berkunjung ke jam Gadang, karena setelah berputar-putar beberapa lama tidak bisa menemukan tempat parkir. Padahal saat itu bukan  waktu liburan. Bisa dibayang kan bagaimana kalau pada hari libur.
Itu yang terjadi sehari menjelang  tahun baru 2013, kami dengan 2 kenderaan pribadi dari Pekanbaru ingin menikmati makan nasi kapau di pasar lereng tidak jauh dari jam Gadang. Syukur saya setelah berputar-putar akhirnya dapat satu tempat parkir. Tidak demikian dengan  teman lain, setelah lama berputar-putar, tidak dapat sedikitpun celah untuk parkir dan akhirnya terpaksa meneruskan perjalalanan menuju ke Padang dan dimimta menunggu di luar kota, Padang Luar.
Yang disesalkan sebenarnya bukan tidak dapat tempat parkir, namun sangat disayang kan dari dulu-dulu keadaan tempat tamasya di Jam gadang begitu-begitu saja, tidak ada pembenahan dari pemerintah Kota Bukittinggi untuk mencipatkan kenyamanan pengunjung. Seolah-olah pemerintah tidak  menyadari manfaat dari kedatangan turis lokal ini.
Dengan kedatangan turis yang sedemikian banyak dipastikan Pemerintah Kota Bukit tinggi menikmati keuntungan atau manfaat yang tidak sedikit. Hotel-hotel dan penginapan penuh, kerajinan-kerajinan setempat dan souvenir lainnya laku keras, belum lagi rumah-rumah makan; produk lokal yang menjadi andalan seperti gerupuk sanjai, kelamai dan lain-lainnya yang kedainya berjajar sepanjang  jalan utama, tentu yang mereka bidik sebagai pembeli adalah para turis lokal ini.(Kalau turis mancanegara nampaknya tidak lagi begitu ramai seperti dahulunya)
Saya yakin pemerintah kota Bukit tinggi menyadari sekian persen dari penduduknya menggantungkan hidup pada pariwisata ini. Oleh karena itulah selayaknya mereka menciptakan fasilitas yang  dapat mendatangkan kenyamanan pada pendatang.
Misalnya saja, di bawah sebelum Jam gadang disediakan lapangan parkir yang cukup luas sehingga para pendatang tidak perlu lagi membawa kenderaan pribadi ke taman dekat Jam gadang. Untuk itu, dari tempat parkir di bawah disediakan kenderaan mirip trem  seperti yang banyak ditemui untuk mengelilingi tempat wisata yang terdiri dari gerbong-gerbong yang ditarik. Nah dengan kenderaan itulah para pengunjung naik dan turun ke taman Jam gadang. Dengan demikian pusat pariwisata  itu menjadi sedikit lapang, sehingga mendatangkan kenyamanan bagi para pengunjung.  
Atau bisa saja pemerintah kota memikirkan cara lain bagaimana menata tempat wisata dan inikan sebenarnya tugas dinas pariwisata kota. Dengan demikian tidak terkesan pemerintah kota Bukit tinggi hanya ingin dapat keuntungan saja dari para turis lokal, namun juga memikirkan bagaimana turis lokal makin lama makin betah dan makin banyak  berkunjung ke Bukittinggi.